Wednesday, September 03, 2008

JIHAD SEORANG SUAMI


Pagi tadi saya ditelpon sama ibu, setelah ngobrol berbagai macam topik pembicaraan, sampailah pada berita mengejutkan itu. beginilah kutipannya:



Ibu : “O iya A… tetangga kita Mang Karya meninggal”. (Mang Karya = Om Karya)

Aku : “Innalillaahi wainna ilaihi roji’un”

Ibu : “Mamah juga gak nyangka, dia kan masih muda”

Aku : “Gimana kejadiannya?”

Ibu : “Katanya lagi nyari motor ke daerah Kadipaten.”

(kerjaan almarhum calo motor)

Aku : “Terus…?”

Ibu: : “Tabrakan beruntun!”

Aku : “ Sedang jihad tuh Mang Karya.”

Ibu : “ Iya semoga dia syahid.”

Aku : “Amieen amiieen… keluarganya gimana Mah?”

Ibu : “Ya pertama denger sih nangis terus, istrinya sama tiga anaknya. Si sulung mah sampai histeris.

Aku : “O iya kejadiannya kapan itu?”

Ibu : “Baru kemarin ini, sore hari, pas puasa hari pertama.”

Aku : “Masya Allah… ya ya…” (aku tercekat)

“Anaknya yang gede tuh umur berapa sih Mah?”

Ibu : “Baru mau masuk SMP, adik-adiknya masih kecil-kecil. Yang gede tuh pinter, sekolahnya ranking sat uterus, yang kecil gendut lagi lucu-lucunya… kasihan A”

Aku : “Iya sih Mah… ya titip pesan aja buat keluarganya, yang tabah, yang sabar.”

Ibu : “Iya A… “


Obrolan lewat telpon pagi tadi begitu membuatku miris. Di satu sisi, membayangkan betapa sedihnya keluarga yang ditinggalkan, di sisi lain ada sedikit kelegaan membayangkan almarhum yang meninggal di saat mencari nafkah untuk anak dan istrinya sambil berpuasa .

Lagi-lagi aku sebagai manusia biasa hanya bisa berucap, semoga… semoga… dan semoga. Selamat jalan Mang, semoga engkau masuk golongan mujahid. Amieen.

Friday, July 25, 2008

Fenomena Lagu Gaby


Mumpung belum terlalu telat, sebagai orang yang sehari-hari bergelut dengan musik, saya juga mau ikutan komentar. Ada beberapa kemungkinan tentang "wabah" lagu ini:
  1. 1. di-upload di internet secara sengaja oleh si penciptanya
  2. 2. di-upload di internet secara sengaja oleh orang yang bukan penciptanya (bisa teman si pencipta lagu atau orang yang ngerekam lagu dengan niat menyebarkannya lewat internet). Prosesnya dapat dilakukan dengan seizin atau tanpa seizin si pencipta.

Sementara itu, tentang banyaknya yang mengaku sebagai pencipta lagu (yang sebenarnya secara musikalitas lagu tsb sangat biasa sekali), inilah beberapa kemungkinannya:
1. Orang/band itu jujur dan memang dialah penciptanya
2. Orang/band itu tidak jujur alias bohong alias penuh dusta.
It's enough! ya... cuma dua kemungkinannya... itu saja.

Lalu apa untungnya ngaku-ngaku lagu yang bukan ciptaannya dengan melakukan kebohongan publik? Ya tentu saja alasannya sangat mudah ditebak, yaitu:
1. Ingin terkenal
2. Ingin populer
3. Ingin tenar
4. Ingin masuk di tipi
5. Ingin dapat uang
6. Ingin kaya
7. Ingin beli rumah
8. Ingin beli mobil
9. Ingin punya pacar
10. Ingin-ingin empukkkk hehehe

Nah... kalau soal bagaimana prosesnya hingga ada yang ngaku2 lagu tersebut adalah ciptaannya (kita sebut saja si pembohong), berikut adalah beberapa kemungkinannya:

1. Si pembohong melihat dan mendengar langsung ketika si pencipta menyanyikan lagu tersebut, kemudian merekamnya dalam ingatan/tape recorder/hp dngn fasilitas recording. Suatu hari dia mengklaim lagu itu sebagai ciptaannya.

2. Si pembohong melihat dan mendengar lewat internet, dia suka, kemudian dia genjrang-genjreng gitar di rumah dan mengklaim lagu itu sebagai ciptaannya.

3. Si pembohong nemu cd, kaset, atau flashdisk di suatu tempat misalnya tempat sampah, ternyata setelah didengerin berisi lagu Gaby 'Tinggal Kenangan'. Kemudian dia mengaku itu lagu ciptaannya.

Sikap saya sebagai orang musik:

1. Mengutuk keras para pembohong seperti emaknya si Malin Kundang
2. Mengajak para musisi untuk merasa malu dengan fenomena ini (malu koq ngajak-ngajak sih...)

Solusi:
Ingat loh...
sekali bohong akan diikuti dengan bohong-bohong lainnya
... Maka dari itu, dalam waktu dan tempo yang sesingkat-singkatnya harus segera diadakan Sumpah Pocong, biar yang boong langsung jadi pocong hihihihi....

Monday, July 21, 2008

Hati yang Bersih


Teman-teman, saya baru pulang dari pertapaan. Ketika sedang asyik menjelajah sisi-sisi batiniah dan ruhiyah saya yang hampir keropos tergerogoti arus globalisasi, saya mendapati kesejukan air zamzam dan tetesan embun surgawi dari tulisan Ust. Arifin Ilham. Thank's buat temen2 di Grup FS My Islam khususon Om Malik a.k.a Om Maligh & Uni_Na_untum yang sudah posting copas pemikirannya Ust. Arifin di bawah ini:

Hati yang bersih adalah hati yang akan membawa kebahagiaan, kesuksesan, kemenangan, kedamaian, dunia akhirat. Sungguh sukses beruntunglah hamba Allah yang suci hatinya. Hati yang suci akan mudah mengakses, menerima, hidayah - petunjuk Allah, rahmat - kasih sayang Allah, maghfirah - ampunan Allah, inayah - pertolongan Allah, dan berkah demi berkah.Yang kedua, hati yang bersih, do’a pun menjadi mustijabah. Karena tidak ada hijab, tidak ada yang menghalangi dia dekat dengan Allah, karena bersih hatinya, bening.

Kemudian yang ketiga, hati yang bersih, subhanallah, kalau ia bicara, bicaranya pun menjadi hikmah. Qoulan tsakila, kata-kata yang berbobot.. Dan kalau hamba Allah yang hatinya bersih itu bicara, orang akan mendengar, orang akan menyimak, dan mudah mendapatkan hikmah, al ilmu dari mereka yang hatinya bersih.
Hati yang bersih, subhanallah, bersemainya sifat-sifat yang mulia. Ikhlash, sabar, syukur, qona’ah, tawadhu, tawakal, dan sebagainya, subur sekali sifat-sifat mulia tumbuh bersemai di hatinya. Kemudian hati yang bersih mudah meraih kekhusyu’an, mudah menerima ilham, intuisi-intuisi kebaikan dan perbaikan.

Hati yang bersih, subhanallah, akan mendapat kedudukan yang mulia, maqoomammahmuudah. Hati yang bersih, subhanallah, pusat perhatian para malaikat. Seperti bintang di tengah malam, menyala-nyala, mengundang perhatian para malaikat. Sehingga malaikat mendekatinya dan terus memujinya dan mendoakannya, agar ia terus dalam kebersihan, dalam kesucian di hadapan Allah.

Kemudian hati yang bersih, subhanallah, akan membuat hati itu bercahaya. Hati yang bercahaya akan menerangi pikirannya, bicaranya, penglihatannya, pendengarannya, tubuhnya bercahaya. Hai akhlak yang mulia. Kemudian ia bercahaya, maka siapapun yang mendekati dirinya akan merasakan berkah dari cahaya yang ada pada dirinya. Jangankan dia, orang mendekat dia pun akan merasakan keberkahan-Nya.

Kalau suami hatinya bersih, istrinya pun mendapatkan keberkahan. Kalau istri hatinya bersih insya Allah suami pun mendapat keberkahan dari Allah. Kalau orang tua bersih hatinya insya Allah anak-anaknya pun mendapat keberkahan dari Allah. Kalau pemimpin hatinya bersih insya Allah rakyat pun mendapatkan keberkahan dari kebersihan hatinya.

Hati yang bersih, firasatnya sangat tajam. Hati yang bersih, syaithon tidak dapat menguasainya, silau mata syaithon melihat hati hamba Allah yang bersih, karena memancar cahaya.

Karena itu kita mohon kepada Allah agar hati kita dibersihkan oleh Allah SWT, diampuni dosa-dosa yang mengotori hati kita, diperbaiki akhlaq buruk yang menjadi hijab di hati kita. Sehingga dengan hati yang bersih kita mendapatkan keberkahan demi keberkahan.


By Ustadz Arifin Ilham

Friday, June 06, 2008

Yang Tercecer dari Dialog Publik Amien Rais dan Cak Nun

Ada banyak persoalan di negeri ini. Ada banyak potensi di negeri ini. Ada banyak permata di negeri ini. Ada banyak sumber daya alam di negeri ini. Ada banyak seniman yang dapat membuat orang-orang bule melongo melihat orang Indonesia bisa ngeblues, ngejazz, nge-country, nge-gamelan, ngereggae, ngerock, ngesoul, ngegambus Arabian, ngindia, ngarawitan, ngedangdut apalagi, atau nggedebak-nggedebuk, atau ngesenian lainnya. Semuanya pasti bisa dilakukan orang Indonesia. Meminjam istilah Cak Nun, ada banyak cerita di negeri ini, dari kisah rajawali yang terkurung pada Babad Tanah Jawa lengkap dengan cerita mental inlander dan kompradornya Amangkurat I sampai cerita Puntodewo, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk Cangik sampai Butho versi masa kini.

Tapi, mental-mental komprador atau pelayan dan inlander masih berkeliaran memegang tampuk kekuasaan. Sampai kapan? Entahlah. Inilah sekelumit cerita yang diambil dari Dialog Publik di Gedung MM UGM yang berlangsung hari Kamis, 5 Juni 2008 kemarin. Sengaja saya sampaikan di sini, karena ini penting. Ini adalah PR anak bangsa yang peduli akan nasib bangsa ini di kemudian hari.

Dalam acara yang dihadiri sejumlah tokoh ini terungkap betapa negara kita ini sekarang sudah terjajah. Sejarah memang selalu berusaha mencari celah untuk bisa terulang. Kalau sejarahnya manis sih oke-oke saja, tapi kalau sejarahnya pahit ya nanti dulu. Bangsa ini dulu kenyang dengan pil lahit imperialisme dari zaman Portugis, Inggris, Belanda sampai si saudara tua Jepang. Sudah lama bangsa ini dikadalin VOC dan antek-anteknya. Yang terjadi sekarang bukannya hilang, tapi sebaliknya kita dijajah lagi lewat globalisasi ekonomi yang memang gombalisasi itu! Aset-aset negara sudah banyak yang terjual ke tangan asing. Istilah terbaru muncul korporatokrasi, begitu kata Pak Amien sebagai penulis buku Agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia! Malahan dalam waktu dekat, sebanyak 42 BUMN siap dijual ke tangan asing. Ini ditegaskan pula oleh pembicara lain, Dr. Drajad Wibowo, ekonom yang menjadi anggota DPR itu. Sementara Prof. Mochtar Mas’oed hadir sebagai pembedah yang jitu memaparkan bahwa buku Amien Rais itu merupakan buku yang punya tujuan seperti roman bertendens agar para pembacanya bertindak. Pak Amien pun mengakui, dia ingin setiap anak bangsa yang membaca bukunya (kabarnya sekarang sudah terjual 40.000 eks), akan marah melihat fakta-fakta yang ada didalamnya.

Pertanyaannya adalah kenapa musti marah? Ya, harus marah, karena faktanya sungguh hebat luar biasa. Sejak zaman Megawati sampai SBY berapa banyak BUMN yang terjual ke tangan asing. Singapura dengan Temasek-nya berhasil menguasai Indosat. Konsekuensinya, mereka bebas melakukan perang-perangan dengan peluru tajam di beberapa wilayah Indonesia khususnya Pulau Sumatera. Kabarnya, merekapun jadi bisa mengendalikan Satelit Palapa. Akibatnya apa? Ketika terjadi huru-hara di negeri ini, bisa saja jalur komunikasi antar Kodim, Korem, dan satuan militer lainnya terputus. Sungguh hebatkan? Begitu kurang lebih yang diungkapkan Amien Rais. Kalau ke-42 BUMN itu benar-benar lepas ke tangan asing karena sikap-sikap market friendly pemerintah, maka lengkaplah sudah bangsa ini menjadi bangsa yang tidak punya kedaulatan ekonomi. Selamanya kita hanya menjadi budak asing!

Bagaimana dengan Cak Nun? Kyai Mbeling ini langsung menantang Pak Amien, katanya, “Sudah saatnya Pak Amien, ini mendesak, saya melihat yang bisa hanya Amien Rais, ingat hidup adalah perbuatan!” Katanya seraya menyindir Ketua Pan Soetrisno Bachir yang akhir-akhir ini gencar beriklan dengan slogan yang tidak spektakuler itu. Ketika ditantang termasuk oleh beberapa penanya Pak Amien pertama kali hanya menjawab, “Masih banyak yang lebih muda, saya ini kan sudah hampir sunset.” Jawaban seperti ini cukup membuat orang yang pertama tidak mendukung Amien Rais untuk maju capres menjadi terperangah. Bagaimana tidak, seorang Amien Rais yang dulu terlihat begitu ambisius (mungkin karena tim suksesnya juga yang kurang smart melihat dan mengkaji budaya orang Indonesia yang tidak suka dengan orang-orang yang tampak terlalu ambisius), secara spontan terlihat begitu menolak secara halus. Tapi, dalam hati kecil saya, sikap inilah seharusnya yang lebih ditonjolkan dalam kampanye dulu-dulu ketika Pak Amien maju capres.

Kalau memang ada pemimpin yang komitmen untuk bersikap tegas pada IMF, World Bank dan kroni-kroninya, kenapa tidak? Buktinya sudah banyak, lihatlah Russia, Bolivia, Argentina, India, dan raksasa ekonomi Asia saat ini, China! Mereka bisa tegas terhadap korporatokrasi asing. Mereka cukup percaya diri untuk tidak menjadi inlander. Mereka cukup percaya diri untuk melakukan negosiasi ulang dengan kekuatan asing sang pengeruk kekayaan negeri sendiri. Persoalannya, sudah pede dan beranikah pemimpin kita saat ini? Kalau belum, berarti memang harus segera turun mesin! (Lagi-lagi meminjam istilah Pak Amien dalam dialog siang itu).

Dalam acara yang berlangsung hampir lima jam itu, sepertinya memang memacu semangat kebangsaan untuk menjaga aset-aset bangsa ini agar tidak lepas terus ke tangan asing. Misalnya, agar hasil Freeport juga dapat dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Agar kita dapat mengelola Sumber Daya Alam yang ada benar-benar dari ibu pertiwi, dikelola oleh rakyat, dan hasilnya juga untuk rakyat.

Setelah acara selesai, saya sempat menegur Pak Amien yang asyik dimintai tanda tangan untuk buku-buku yang sudah dibeli para peserta dialog. “Semoga jadi presiden Pak!” Sambil masuk mobil Pak Amien sigap menjawab, “ Amin… amin.”

Wednesday, June 04, 2008

Wanted: Public Enemy


Agaknya inilah yang terjadi akhir-akhir ini di negeri kita tercinta. Kadang kita tidak sadar, hampir setiap hari kita selalu mencari public enemy atau musuh bersama. Nampaknya mungkin benar, di negeri kepulauan ini ada pihak-pihak yang tidak suka dengan kedamaian. Mungkin hampir sama pemikirannya dengan negara-negara pembuat senjata. Mereka akan terus mengupayakan adanya perang di muka bumi ini. Kenapa bisa begini? Karena dengan adanya perang mereka dapat terus memproduksi senjata. Kalau tidak ada perang, industri-industri senjata milik mereka akan bangkrut, dollar juga tidak akan mengalir.

Kalau pihak luar tidak suka adanya kedamaian di Indonesia, memang masih masuk akal. Tapi, kalau elemen bangsa ini sendiri yang tidak suka bagaimana? Tentunya aneh bin ajaib. Apa kepentingan mereka hingga tega-teganya menginginkan negara ini bergolak? Apa mereka didanai asing yang ingin di negara ini terjadi perang saudara? Mungkin mereka tidak puas dengan kerusuhan Poso, atau damainya Aceh sekarang ini? Mereka mau antara umat Islam sendiri pecah! Ahmadiyah diadu dengan seluruh umat Islam, FPI diadu dengan Banser NU, Gus Dur diadu dengan Habib Rizieq, Islam konservatif diadu dengan Islam modern, NU diadu dengan Muhammadiyah, MUI diadu dengan JIL. Sungguh terbayang apa jadinya nanti jika semua elemen Islam di negara ini pecah. Apa kita mau jadi seperti Irak, dimana ketika Sunni dan Syiah tidak pernah akur, kemudian Amerika masuk dan hancurlah negara itu.

Seandainya dalam insiden monas itu saya punya helikopter sepuluh buah saja, saya akan tugaskan semua pilotnya untuk terbang rendah di atas monas dan berteriak lantang dengan pengeras suara yang super keras, “Hei kalian semua, sadarlah kalian itu sama-sama orang Islam! Sadar gak siiiiihhhh????!!!, Please deh, jangan bego-bego amat dooong… Ada yang seneng lho kalau kalian perang kayak gini terus... ”

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari insiden monas? FPI mau dibubarkan, Anda senang? Urusan BBM dan BLT terlupakan, pemerintah jadi sedikit lega karena perhatian publik jadi teralihkan ? Atau kita semua termasuk Anda jadi sadar, bahwa ada konspirasi yang sangat rapi dibalik semua ini? Untuk kemungkinan yang terakhir ini, Anda dapat membaca link ini, silakan klik http://www.jalansetapak08.wordpress.com

Coba pikir dengan hati, ini fakta, ini Indonesia, dan kejadian seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia!

Friday, May 16, 2008

Setiap Ganti Presiden BBM Naik


Judul di atas sebenarnya sudah berupa kesimpulan. Faktalah yang berbicara, siapapun orangnya yang memimpin negeri ini sepertinya tidak akan kuat untuk tidak ikut-ikutan menaikkan harga BBM. Kenaikan BBM sudah menjadi hal biasa, jadi kenapa harus terlalu dipermasalahkan atau dipusingkan?

Apa benar orang-orang yang demo itu benar-benar sedih dengan naiknya BBM? Atau mereka hanya terprovokasi saja? Tapi, kalau dilihat sepintas sih memang jelas mereka kecewa dengan keputusan pemerintah SBY-JK, sampai-sampai jerigen (tempat minyak tanah) mereka buat seperti bola sepak, ditendang sana, tendang sini, oper sana, oper sini, kadang-kadang juga di smash atau dibanting-banting. Ibu-ibu tampak beringas pada barang yang biasa disayanginya.

Sungguh bentuk sindiran yang telak! Bagaimana ibu-ibu rumah tangga dengan pakaian khasnya (daster) bermain bola "jerigen" yang biasanya mereka gunakan untuk tempat menyimpan minyak tanah. Terlalu berlebihan? Tidak sih, justru mereka terlihat ekspresif walaupun kadang sambil tersenyum atau tertawa bersama.

Kenaikan BBM yang rencananya akan diberlakukan akhir Mei ini memang ditanggapi beragam oleh masyarakat. Ada yang biasa saja, ada yang sangat pasrah, ada yang sangat cemas, ada yang stress, ada yang marah-marah, bahkan ada juga yang turun ke jalan mereka berdemo menuntut SBY-JK atau menteri Purnomo Yusgiantoro untuk turun. Apa ini perlu? Dalam konteks sebuah negara demokrasi kejadian-kejadian demonstrasi nampaknya sudah menjadi satu keharusan. Demo itu harus ada di negara yang mengaku demokratis. Demikian halnya juga dengan Indonesia. Ada semacam analogi sederhana; Indonesia adalah negara demokrasi, di negara demokrasi, demonstrasi sudah menjadi hal biasa. Kesimpulannya, karena negara Indonesia adalah negara demokrasi, demonstrasi sudah biasa terjadi. Maka tidak heran kalau Wapres Jusuf Kalla mengatakan tidak takut dengan ancaman dan gelombang demonstrasi yang lebih besar untuk menolak rencana kenaikan BBM (Kompas, Jumat 16 Mei 2008). Wajar saja kalau beliau tidak takut, karena beliau sadar betul negara Indonesia ini adalah negara demokratis. Justru kalau tidak ada demonstrasi, negara ini bisa-bisa dicap sebagai negara yang dipimpin oleh penguasa otoriter.

Hidup di Indonesia harus membiasakan diri dengan naiknya BBM. Buat Anda yang bergaji besar dan hidup di atas garis kekayaan mau naiknya seberapa besarpun pasti tidak jadi soal. Akan tetapi, lain halnya bagi rakyat lainnya yang jumlahnya jauh lebih besar. Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan atau mungkin di dasar jurang kemiskinan tentunya akan menjerit, karena jelas hal ini akan semakin membuat mereka hidup miris dan terjepit di negara yang sebenarnya kaya raya ini.

Syekh Salthut ketika berkunjung ke Indonesia sangat kagum dengan keindahan dan kesuburan alam Indonesia, sehingga sang syekh menyebut negeri ini adalah potongan surga. Sekarang potongan surga ini sudah menjelma menjadi potongan surga yang salah urus. Hutan-hutan dibabat, pohon-pohon ditebas, alam tidak lagi dijadikan sahabat, sebaliknya terus disakiti. Jangan heran kalau satu saat alam juga yang marah, sekarangpun sudah banyak terjadi. Sebenarnya marahnya hanya pada satu dua orang saja, tapi imbasnya bisa dirasakan banyak orang.

Bagaimanapun juga, ke depan jalan masih panjang, harapan harus selalu tetap ada. Ingat, putus asa adalah dosa. Walaupun setiap ganti presiden BBM selalu saja naik, kita harus tetap berusaha, berdoa, dan tawakkal kepada-Nya. Tantangannya adalah, bisakah negara ini suatu saat nanti menghentikan tradisi BBM naik setiap ganti presiden? Mungkin saja bisa dengan syarat presidennya harus benar-benar sakti mandarguna dalam arti benar-benar ahli mengerahkan potensi SDM dan SDA, jangan sampai bisa tapi hasil utang sehingga nantinya rakyat juga yang susah, atau minimal malu karena punya negara yang utangnya banyak seperti zaman orde baru.

Wednesday, April 16, 2008

KETIKA CINTA KEMBALI KE KHITOH


Cinta itu suci, cinta itu murni, cinta itu malu merah merona, cinta itu tersenyum simpul, cinta itu diam hanya anggukan tersamar, cinta itu menembus jantung menggetarkan batin, cinta itu rindu, cinta itu menancapkan sebuah nama di lubuk kalbu, cinta itu indah, cinta itu senyum, cinta itu mendebarkan, cinta itu sulit diungkapkan, cinta itu anugerah ilahiah, cinta itu sunatullah, cinta itu agung, cinta sejati itu hanya bersandar dan berpasrah pada kebesaran cinta-Nya.

Hari ini saya menulis tentang cinta, karena beberapa fenomena percintaan yang terjadi belakangan ini. Yang paling menarik bagi saya antara lain; fenomena boomingnya Ayat-ayat Cinta, dan yang paling aktual adalah pernikahan ketua MPR Ustadz Hidayat Nur Wahid. Sebenarnya ada satu lagi, yaitu kisah seorang teman yang tinggal di Istanbul Turki yang hari-harinya sedang dihujani dengan butiran-butiran merah muda bercahayakan cinta untuk seorang gadis teman kuliah (namanya sengaja saya tidak sebutkan demi privasinya, terlebih lagi dia begitu pemalu).

Dari ketiga fenomena percintaan yang saya ungkapkan di atas, terlihat adanya kesamaan; cinta diletakkan pada posisi sejatinya; begitu agung, suci, dan indah. Tidak ada proses pacaran yang terlalu lama, tidak ada sentuhan fisik, tidak ada pemaksaan kehendak, tidak ada amarah yang meledak-ledak, dan tidak ada kata cinta terucap. Yang ada hanyalah pergulatan batin sang tokoh, keinginan untuk menyempurnakan agama dan diri di hadapan Allah, dan hasrat untuk memiliki dengan tetap bersandar pada ridho dan kebesaran cinta-Nya. Sungguh indah tak terkira dan tak terlukiskan.

Pernah satu saat saya mendengar seorang teman berbicara seperti ini, “cinta sejati itu tidak ada!” Cinta sejati yang dimaksud adalah cinta antara dua manusia yang dimabuk asmara. Karena pada suatu saat, sangat mungkin dan pasti terjadi, cinta itu meluntur, memudar, kalau tidak padam sama sekali setelah melalui pertengkaran yang hebat, atau terpisahkan oleh ajal yang menjemput. Adapun cinta sejati seperti yang ada pada lirik-lirik lagu pop itu sebenarnya hanyalah demi kepentingan inustri dan budaya pop semata. Saya sangat setuju dengan pendapat teman saya yang musisi gitar lulusan ISI itu, bagaimanapun juga cinta sejati tidaklah bergaris horizontal, melainkan vertikal lurus dari jiwa-jiwa yang tenang penghuni bumi menuju Arasy ke hadlirat Allah SWT.

Saya di sini berpendapat momentum percintaan seperti tiga kisah cinta di atas, dapat membuka jalan yang sangat luas, lapang dan terang menuju kesejatian cinta bertahta. Memang benar kiranya, untuk membendung segala tipu daya gemerlap duniawi yang datang tak kunjung henti dan datang dengan genderang perang, semestinya disikapi dengan mengembalikan makna cinta yang sesungguhnya. Ini dapat terwujud ketika orang tua mengajari cinta Ilahi sejak dini, memagari anak dengan budi pekerti yang luhur dan norma-norma yang menjunjung tinggi kesalehan individu dan sosial. Sudah saatnya cinta kembali ke khitohnya yang suci, agung, dan indah.

Ketika hal ini sudah terjadi, bukan tidak mungkin Indonesia keluar dari urutan negara paling korup sedunia, akan makin sedikit kasus-kasus aborsi illegal buah pahit dari kecelakaan dan salahnya manajemen syahwat, makin sedikit pula kasus-kasus ibu yang tega membuang bayinya sendiri (naudzubillah!!!). Semoga makin bersih dan berjayalah pula negara ini nantinya. Semoga.

Thursday, April 10, 2008

Slank Terselamatkan Al Amien (Apalah Arti Sebuah Nama)

Hari ini saya membaca headline koran Jawa Pos, tertulis "DPR Batal Gugat Slank". Ya bisa jadi sih memang gara-gara Mas Al Amien itu. Saya koq rada gak sreg ya nulis "Al Amien", masalahnya ini kan gelar yang diberikan kepada panutan umat Islam, Nabi Muhammad saw, karena kejujurannya. Sementara Al Amien yang anggota komisi IV DPR itu, waduh jelas bedalah dengan Al Amien-nya Nabi. Mungkin harapannya dulu orangtua Mas Al (sebutan ini lebih enak deh kayaknya), biar si anak terkenal kejujurannya seperti Nabi saw. Tapi kenyataannya? Naudzubillah, sangat nista, seorang wakil rakyat, malah makan uang suap demi lancarnya pengalihfungsian hutan lindung menjadi kawasan industri dan ibukota Bintan.

Menurut Anda para tamu kehormatan blog saya ini, apakah benar lirik Slank itu terbukti nyata? Perhatikan ya, nih liriknya:
"
Mau tau gak mafia di Senayan
Kerjanya tukang buat peraturan
Bikin UUD ujung-ujungnya duit
."

Salut ya buat keberanian Slank. Mereka jadi ikon musik Indonesia, hidup di dunia gemerlap selebritis tapi nurani tetap jalan, mendengarkan suara-suara akar rumput yang nyaris tak terdengar (baca: didengar, red). Persis seperti lantangnya Iwan Fals zaman dulu.

Malu tidak ya anggota DPR yang lainnya? Harusnya malu dong, paling tidak ini adalah semacam warning, biar berpikir matang sebelum bertindak. Jangan tergoda dengan uang haram. Saya jadi ragu, benar tidak sih, kalau anggota dewan yang terhormat itu gajinya cukup besar? (Koq ya masih ada yang korupsi gitu lowh...) Tapi namanya juga manusia sih, mana ada yang tahan lihat duit banyak depan mata. (Saya saja mungkin nggak tahan tuh hehe)
Makanya, pikir-pikir lagilah yang punya niat jadi pejabat, wakil rakyat, atau sebagainya. Godaannya terlalu berat. Ingat kata Zainuddin MZ, "harta, tahta, wanita, bisa bikin orang buta."
Akhir kata, Masya Allah, please ya Tuhan kami, berilah kami pemimpin yang benar-benar Al Amien. Kami tidak butuh pemimpin-pemimpin bernama bagus, tapi kelakuannya tidak patut kami tiru. Mendingan namanya Paijo, si Bedul, si Sontoloyo, si Dadap atau si Waru, tapi perilakunya jujur seperti Al Amien yang hidup di zaman Jahiliyyah Arab dulu. Amiiieeen.

Wednesday, March 12, 2008

NADA MIRING SELALU ADA


Suka musik atau bisa memainkan alat musik, misalnya gitar atau piano? Kalau Anda bisa, pasti tahu, pada tangga nada do,re,mi itu, pasti ada nada yang turun atau naik setengah. Selain kita mengenal nada mayor dan minor, kita juga kenal dengan nada yang turun setengah (mol) dan nada yang naik setengah (kres). Inilah yang disebut dengan nada miring.

Nah, dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali mendengar istilah komentar miring atau nada miring. Lebih ilmiah lagi kalau kita menyebutnya dengan istilah kritik yang tidak membangun. Maksudnya, kritik yang ditujukan untuk melemahkan atau menyerang sebuah tulisan, karya, komentar, atau pembicaraan lawan. Sudah barang tentu, jika dilihat dari tujuannya pastilah mengarah ke hal yang negatif.

Contoh dari nada miring ini, banyak sekali kita jumpai di kehidupan sehari-hari, dari mulai contoh kecil, remeh-temeh bin ringan, sampai contoh yang agak berat. Untuk contoh yang kecil-kecil misalnya, Anda sudah bekerja sekuat tenaga dengan hasil yang menurut Anda sudah perfect, cum laude atau maksimal atau sangat memuaskan semua pihak. Tapi, ternyata tanpa diduga teman Anda sendiri malah mengatakan, "hmmm... biasa aja tuh...", atau lebih menohok lagi kalau dia menagatakan, "jelek amat sih...", atau "kurang inilah, kurang itulah...".

Contoh yang agak besar dan berat misalnya terjadi dalam perdebatan calon Presiden AS, antara Obama dan Hillary Clinton. Keduanya terus berusaha untuk menggali sisi lemah lawan politiknya, sehingga berhamburanlah nada-nada miring dari mulut keduanya. Contoh lainnya, ini terjadi ketika UGM kerjasama dengan Kedubes Inggris mengadakan pameran fotografi Islam karya Peter Sanders. Waktu itu yang menjadi pembicara dalam pembukaan pameran adalah; dubes Inggris, rektor UGM, budayawan Cak Nun, dan antropolog UGM Prof. Heddy Ahimsa Putra. Nah, waktu tamu undangan dan media sedang melihat-lihat foto hasil jepretan Peter Sanders, tiba-tiba ada yang nyeletuk dengan nada yang sangat miring, "Ngapain juga Cak Nun mengupas tentang pameran ini menurut persepsi dia, harusnya biarkan saja kita-kita ini sebagai penikmat yang menilai bagaimana foto-foto ini. " Komentar ini dilontarkan seorang bapak-bapak, sepertinya seorang dosen, kepada dua orang mahasiswi yang ada di ruangan pameran, tepatnya di sekitar halaman Masjid Kampus UGM itu.

Coba Anda ingat-ingat, pernahkah Anda mengalami dihujani nada-nada miring? Misalnya soal gaya berpakaian, soal pekerjaan, soal karya yang Anda buat, dan lain sebagainya. Ada saja nada miring itu kan? Beberapa tulisan di blog orang, termasuk blog saya ini (hehehe..), juga banyak yang berisi tentang komentar atau nada miring. Tapi, kita lihat kritik yang disampaikan itu membangun atau sebaliknya, dan jangan salah, ternyata nada miring itu juga bisa menghasilkan uang loh... Lihat saja, disekitar kita, betapa banyak kritikus-kritikus atau komentator-komentator bermunculan untuk berbagai disiplin ilmu. Menakjubkan kan? Dengan mengkritik, mereka bisa terkenal, muncul di tv, jadi selebriti, menjadi tokoh, menjadi idola, jadi ikon, menjadi sukses, bisa jadi juga jadi presiden, atau menjadi banyak uang alias kaya raya.

Sepertinya kita hidup di dunia ini memang harus siap mengahadapi kritik atau nada miring. Ya... apapun yang kita lakukan, apapun yang kita perbuat, nada miring akan selalu hinggap, nada miring akan selalu datang dengan senyumnya yang sinis menawan.

Thursday, January 17, 2008

ANTARA SOEHARTO, PAK HARTO, DAN MANTAN PRESIDEN SOEHARTO


Dunia mengenal nama Soeharto sebagai salah satu presiden yang cukup lama berkuasa di sebuah negara. Di Afrika, juga dikenal presiden Ganssingbe Eyadema yang menjabat sebagai Presiden Togo setelah mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada 1967, dan masih memenangkan pemilu di tahun 2003 (Koran Tempo, Senin, 7 Februari 2005).
Soeharto yang juga biasa dipanggil Pak Harto, begitu dikenal dan disegani sebagai orang nomor satu di republik ini. Terlepas dari kebijakan dan trik-trik politik yang dijalankan pemerintahannya waktu itu, sebagian besar tentunya kita tahu dan sangat mengenal senyumnya yang khas, dan gaya bahasanya dengan idiolek tersendiri, misalnya penggunaan akhiran –ken, penggunaan kata “daripada” yang seringkali tidak tepat dalam penempatannya.

Mari kita cermati saja apa yang sekarang ini terjadi ditengah santernya pemberitaan mengenai sakitnya sang jendral besar itu. Banyak media seperti tidak mempunyai keseragaman dan konsistensi dalam menulis atau memberitakan tentang sang mantan presiden itu. Hal ini bisa dilihat dari media televisi misalnya. Ketika presenter membaca berita utama yang berjudul “Sakitnya Soeharto”, si reporter yang terjun di lapangan melaporkan dengan berulang kali mengatakan, “Pak Harto”. Tapi, ketika terjadi dialog antara presenter dengan reporter, si presenter akan mengikuti sang reporter dengan mengatakan, “Reporter… bagaimana keadaan Pak Harto sampai saat ini?”

Tentunya kejadian di atas hanya sebuah contoh kecil dari inkonsistensinya media ketika memberitakan tentang sang mantan presiden yang bernama asli Soeharto itu. Masih banyak contoh lainnya yang sebenarnya masih bisa dipaparkan di sini.

Bisa jadi ketika sebuah media massa memberitakan Soeharto dengan beragam pemberitaan dari mulai sakitnya, perjalanan hidupnya, keluarganya sampai berbagai kisah-kisah uniknya, memang semua itu sudah diberikan pakem-pakem yang harus dipatuhi oleh setiap wartawan, reporter, presenter, atau kontributor. Termasuk dalam hal pemilihan kata; memakai Soeharto saja, Pak Harto, atau berulang kali menyebut Mantan Presiden Soeharto.



Rasa Bahasa

Sebuah media yang pemilik saham terbesarnya adalah orang yang sangat dekat atau salah satu dari keluarga cendana, tentunya tidak akan memilih kata Soeharto. Secara rasa bahasa, hal ini akan terdengar atau terlihat kurang sopan. Sebagai orang timur yang diajarkan untuk menghormati orang tua atau orang yang usianya lebih tua, tentunya hal ini akan sangat penting. Mengingat tidak mungkin, seseorang akan menyebut langsung nama orang, padahal orang itu usianya sama dengan orang tua kita.

Rasa bahasa, memang memainkan peran signifikan pada saat seorang editor bahasa menghadapi naskah-naskah berita/ feature/ wacana opini dari wartawan atau penulis. (Jokomono, Suara Merdeka, 3 September 2003). Bagaimana dengan frasa “Pak Harto”? Justru inilah yang secara rasa bahasa, sangatlah sopan, menghormati, dan menghargai. Frasa “Pak Harto” dapat disejajarkan dengan frasa “Bung Karno”, “Bung Tomo”, “Bu Mega”, “Pak Amien” atau “Gus Dur”. Artinya ketika kata sandang itu dilekatkan dengan nama orang, akan sangat berdampak pada etika. Tentunya hal ini tidak terlepas dari nilai culture yang ada di Indonesia.

Adapun frasa yang sangat netral adalah “mantan presiden Soeharto”. Walaupun secara gramatikal frasa ini agak janggal – seharusnya mantan presiden RI, Soeharto-- tapi dari segi etika dan kenetralan berita, frase ini cukup banyak digunakan oleh para wartawan atau penulis. Sang editor, wartawan, reporter, atau penulis akan merasa netral dan tidak terlalu terbebani dengan predikat sopan-tidak sopan atau memihak-tidak memihak.



Fenomena Bahasa

Penyebutan “Soeharto”, “Pak Harto”, atau “mantan presiden Soeharto”, yang sudah terjadi sejak mantan penguasa orde baru itu lengser, merupakan sebuah fenomena bahasa yang cukup unik. Dari penggunaan salah satu penyebutan itu, kita dapat mengetahui mana media yang secara konsisten sangat menghormati atau membenci sang jendral besar yang sekarang sedang sakit dimakan usia itu. Pun kita juga dapat mengetahui mana media yang sangat netral dalam pemberitaannya. Bagaimana dengan Anda?
Google