Thursday, January 17, 2008

ANTARA SOEHARTO, PAK HARTO, DAN MANTAN PRESIDEN SOEHARTO


Dunia mengenal nama Soeharto sebagai salah satu presiden yang cukup lama berkuasa di sebuah negara. Di Afrika, juga dikenal presiden Ganssingbe Eyadema yang menjabat sebagai Presiden Togo setelah mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada 1967, dan masih memenangkan pemilu di tahun 2003 (Koran Tempo, Senin, 7 Februari 2005).
Soeharto yang juga biasa dipanggil Pak Harto, begitu dikenal dan disegani sebagai orang nomor satu di republik ini. Terlepas dari kebijakan dan trik-trik politik yang dijalankan pemerintahannya waktu itu, sebagian besar tentunya kita tahu dan sangat mengenal senyumnya yang khas, dan gaya bahasanya dengan idiolek tersendiri, misalnya penggunaan akhiran –ken, penggunaan kata “daripada” yang seringkali tidak tepat dalam penempatannya.

Mari kita cermati saja apa yang sekarang ini terjadi ditengah santernya pemberitaan mengenai sakitnya sang jendral besar itu. Banyak media seperti tidak mempunyai keseragaman dan konsistensi dalam menulis atau memberitakan tentang sang mantan presiden itu. Hal ini bisa dilihat dari media televisi misalnya. Ketika presenter membaca berita utama yang berjudul “Sakitnya Soeharto”, si reporter yang terjun di lapangan melaporkan dengan berulang kali mengatakan, “Pak Harto”. Tapi, ketika terjadi dialog antara presenter dengan reporter, si presenter akan mengikuti sang reporter dengan mengatakan, “Reporter… bagaimana keadaan Pak Harto sampai saat ini?”

Tentunya kejadian di atas hanya sebuah contoh kecil dari inkonsistensinya media ketika memberitakan tentang sang mantan presiden yang bernama asli Soeharto itu. Masih banyak contoh lainnya yang sebenarnya masih bisa dipaparkan di sini.

Bisa jadi ketika sebuah media massa memberitakan Soeharto dengan beragam pemberitaan dari mulai sakitnya, perjalanan hidupnya, keluarganya sampai berbagai kisah-kisah uniknya, memang semua itu sudah diberikan pakem-pakem yang harus dipatuhi oleh setiap wartawan, reporter, presenter, atau kontributor. Termasuk dalam hal pemilihan kata; memakai Soeharto saja, Pak Harto, atau berulang kali menyebut Mantan Presiden Soeharto.



Rasa Bahasa

Sebuah media yang pemilik saham terbesarnya adalah orang yang sangat dekat atau salah satu dari keluarga cendana, tentunya tidak akan memilih kata Soeharto. Secara rasa bahasa, hal ini akan terdengar atau terlihat kurang sopan. Sebagai orang timur yang diajarkan untuk menghormati orang tua atau orang yang usianya lebih tua, tentunya hal ini akan sangat penting. Mengingat tidak mungkin, seseorang akan menyebut langsung nama orang, padahal orang itu usianya sama dengan orang tua kita.

Rasa bahasa, memang memainkan peran signifikan pada saat seorang editor bahasa menghadapi naskah-naskah berita/ feature/ wacana opini dari wartawan atau penulis. (Jokomono, Suara Merdeka, 3 September 2003). Bagaimana dengan frasa “Pak Harto”? Justru inilah yang secara rasa bahasa, sangatlah sopan, menghormati, dan menghargai. Frasa “Pak Harto” dapat disejajarkan dengan frasa “Bung Karno”, “Bung Tomo”, “Bu Mega”, “Pak Amien” atau “Gus Dur”. Artinya ketika kata sandang itu dilekatkan dengan nama orang, akan sangat berdampak pada etika. Tentunya hal ini tidak terlepas dari nilai culture yang ada di Indonesia.

Adapun frasa yang sangat netral adalah “mantan presiden Soeharto”. Walaupun secara gramatikal frasa ini agak janggal – seharusnya mantan presiden RI, Soeharto-- tapi dari segi etika dan kenetralan berita, frase ini cukup banyak digunakan oleh para wartawan atau penulis. Sang editor, wartawan, reporter, atau penulis akan merasa netral dan tidak terlalu terbebani dengan predikat sopan-tidak sopan atau memihak-tidak memihak.



Fenomena Bahasa

Penyebutan “Soeharto”, “Pak Harto”, atau “mantan presiden Soeharto”, yang sudah terjadi sejak mantan penguasa orde baru itu lengser, merupakan sebuah fenomena bahasa yang cukup unik. Dari penggunaan salah satu penyebutan itu, kita dapat mengetahui mana media yang secara konsisten sangat menghormati atau membenci sang jendral besar yang sekarang sedang sakit dimakan usia itu. Pun kita juga dapat mengetahui mana media yang sangat netral dalam pemberitaannya. Bagaimana dengan Anda?
Google