Friday, May 16, 2008

Setiap Ganti Presiden BBM Naik


Judul di atas sebenarnya sudah berupa kesimpulan. Faktalah yang berbicara, siapapun orangnya yang memimpin negeri ini sepertinya tidak akan kuat untuk tidak ikut-ikutan menaikkan harga BBM. Kenaikan BBM sudah menjadi hal biasa, jadi kenapa harus terlalu dipermasalahkan atau dipusingkan?

Apa benar orang-orang yang demo itu benar-benar sedih dengan naiknya BBM? Atau mereka hanya terprovokasi saja? Tapi, kalau dilihat sepintas sih memang jelas mereka kecewa dengan keputusan pemerintah SBY-JK, sampai-sampai jerigen (tempat minyak tanah) mereka buat seperti bola sepak, ditendang sana, tendang sini, oper sana, oper sini, kadang-kadang juga di smash atau dibanting-banting. Ibu-ibu tampak beringas pada barang yang biasa disayanginya.

Sungguh bentuk sindiran yang telak! Bagaimana ibu-ibu rumah tangga dengan pakaian khasnya (daster) bermain bola "jerigen" yang biasanya mereka gunakan untuk tempat menyimpan minyak tanah. Terlalu berlebihan? Tidak sih, justru mereka terlihat ekspresif walaupun kadang sambil tersenyum atau tertawa bersama.

Kenaikan BBM yang rencananya akan diberlakukan akhir Mei ini memang ditanggapi beragam oleh masyarakat. Ada yang biasa saja, ada yang sangat pasrah, ada yang sangat cemas, ada yang stress, ada yang marah-marah, bahkan ada juga yang turun ke jalan mereka berdemo menuntut SBY-JK atau menteri Purnomo Yusgiantoro untuk turun. Apa ini perlu? Dalam konteks sebuah negara demokrasi kejadian-kejadian demonstrasi nampaknya sudah menjadi satu keharusan. Demo itu harus ada di negara yang mengaku demokratis. Demikian halnya juga dengan Indonesia. Ada semacam analogi sederhana; Indonesia adalah negara demokrasi, di negara demokrasi, demonstrasi sudah menjadi hal biasa. Kesimpulannya, karena negara Indonesia adalah negara demokrasi, demonstrasi sudah biasa terjadi. Maka tidak heran kalau Wapres Jusuf Kalla mengatakan tidak takut dengan ancaman dan gelombang demonstrasi yang lebih besar untuk menolak rencana kenaikan BBM (Kompas, Jumat 16 Mei 2008). Wajar saja kalau beliau tidak takut, karena beliau sadar betul negara Indonesia ini adalah negara demokratis. Justru kalau tidak ada demonstrasi, negara ini bisa-bisa dicap sebagai negara yang dipimpin oleh penguasa otoriter.

Hidup di Indonesia harus membiasakan diri dengan naiknya BBM. Buat Anda yang bergaji besar dan hidup di atas garis kekayaan mau naiknya seberapa besarpun pasti tidak jadi soal. Akan tetapi, lain halnya bagi rakyat lainnya yang jumlahnya jauh lebih besar. Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan atau mungkin di dasar jurang kemiskinan tentunya akan menjerit, karena jelas hal ini akan semakin membuat mereka hidup miris dan terjepit di negara yang sebenarnya kaya raya ini.

Syekh Salthut ketika berkunjung ke Indonesia sangat kagum dengan keindahan dan kesuburan alam Indonesia, sehingga sang syekh menyebut negeri ini adalah potongan surga. Sekarang potongan surga ini sudah menjelma menjadi potongan surga yang salah urus. Hutan-hutan dibabat, pohon-pohon ditebas, alam tidak lagi dijadikan sahabat, sebaliknya terus disakiti. Jangan heran kalau satu saat alam juga yang marah, sekarangpun sudah banyak terjadi. Sebenarnya marahnya hanya pada satu dua orang saja, tapi imbasnya bisa dirasakan banyak orang.

Bagaimanapun juga, ke depan jalan masih panjang, harapan harus selalu tetap ada. Ingat, putus asa adalah dosa. Walaupun setiap ganti presiden BBM selalu saja naik, kita harus tetap berusaha, berdoa, dan tawakkal kepada-Nya. Tantangannya adalah, bisakah negara ini suatu saat nanti menghentikan tradisi BBM naik setiap ganti presiden? Mungkin saja bisa dengan syarat presidennya harus benar-benar sakti mandarguna dalam arti benar-benar ahli mengerahkan potensi SDM dan SDA, jangan sampai bisa tapi hasil utang sehingga nantinya rakyat juga yang susah, atau minimal malu karena punya negara yang utangnya banyak seperti zaman orde baru.

Google