Friday, June 06, 2008

Yang Tercecer dari Dialog Publik Amien Rais dan Cak Nun

Ada banyak persoalan di negeri ini. Ada banyak potensi di negeri ini. Ada banyak permata di negeri ini. Ada banyak sumber daya alam di negeri ini. Ada banyak seniman yang dapat membuat orang-orang bule melongo melihat orang Indonesia bisa ngeblues, ngejazz, nge-country, nge-gamelan, ngereggae, ngerock, ngesoul, ngegambus Arabian, ngindia, ngarawitan, ngedangdut apalagi, atau nggedebak-nggedebuk, atau ngesenian lainnya. Semuanya pasti bisa dilakukan orang Indonesia. Meminjam istilah Cak Nun, ada banyak cerita di negeri ini, dari kisah rajawali yang terkurung pada Babad Tanah Jawa lengkap dengan cerita mental inlander dan kompradornya Amangkurat I sampai cerita Puntodewo, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk Cangik sampai Butho versi masa kini.

Tapi, mental-mental komprador atau pelayan dan inlander masih berkeliaran memegang tampuk kekuasaan. Sampai kapan? Entahlah. Inilah sekelumit cerita yang diambil dari Dialog Publik di Gedung MM UGM yang berlangsung hari Kamis, 5 Juni 2008 kemarin. Sengaja saya sampaikan di sini, karena ini penting. Ini adalah PR anak bangsa yang peduli akan nasib bangsa ini di kemudian hari.

Dalam acara yang dihadiri sejumlah tokoh ini terungkap betapa negara kita ini sekarang sudah terjajah. Sejarah memang selalu berusaha mencari celah untuk bisa terulang. Kalau sejarahnya manis sih oke-oke saja, tapi kalau sejarahnya pahit ya nanti dulu. Bangsa ini dulu kenyang dengan pil lahit imperialisme dari zaman Portugis, Inggris, Belanda sampai si saudara tua Jepang. Sudah lama bangsa ini dikadalin VOC dan antek-anteknya. Yang terjadi sekarang bukannya hilang, tapi sebaliknya kita dijajah lagi lewat globalisasi ekonomi yang memang gombalisasi itu! Aset-aset negara sudah banyak yang terjual ke tangan asing. Istilah terbaru muncul korporatokrasi, begitu kata Pak Amien sebagai penulis buku Agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia! Malahan dalam waktu dekat, sebanyak 42 BUMN siap dijual ke tangan asing. Ini ditegaskan pula oleh pembicara lain, Dr. Drajad Wibowo, ekonom yang menjadi anggota DPR itu. Sementara Prof. Mochtar Mas’oed hadir sebagai pembedah yang jitu memaparkan bahwa buku Amien Rais itu merupakan buku yang punya tujuan seperti roman bertendens agar para pembacanya bertindak. Pak Amien pun mengakui, dia ingin setiap anak bangsa yang membaca bukunya (kabarnya sekarang sudah terjual 40.000 eks), akan marah melihat fakta-fakta yang ada didalamnya.

Pertanyaannya adalah kenapa musti marah? Ya, harus marah, karena faktanya sungguh hebat luar biasa. Sejak zaman Megawati sampai SBY berapa banyak BUMN yang terjual ke tangan asing. Singapura dengan Temasek-nya berhasil menguasai Indosat. Konsekuensinya, mereka bebas melakukan perang-perangan dengan peluru tajam di beberapa wilayah Indonesia khususnya Pulau Sumatera. Kabarnya, merekapun jadi bisa mengendalikan Satelit Palapa. Akibatnya apa? Ketika terjadi huru-hara di negeri ini, bisa saja jalur komunikasi antar Kodim, Korem, dan satuan militer lainnya terputus. Sungguh hebatkan? Begitu kurang lebih yang diungkapkan Amien Rais. Kalau ke-42 BUMN itu benar-benar lepas ke tangan asing karena sikap-sikap market friendly pemerintah, maka lengkaplah sudah bangsa ini menjadi bangsa yang tidak punya kedaulatan ekonomi. Selamanya kita hanya menjadi budak asing!

Bagaimana dengan Cak Nun? Kyai Mbeling ini langsung menantang Pak Amien, katanya, “Sudah saatnya Pak Amien, ini mendesak, saya melihat yang bisa hanya Amien Rais, ingat hidup adalah perbuatan!” Katanya seraya menyindir Ketua Pan Soetrisno Bachir yang akhir-akhir ini gencar beriklan dengan slogan yang tidak spektakuler itu. Ketika ditantang termasuk oleh beberapa penanya Pak Amien pertama kali hanya menjawab, “Masih banyak yang lebih muda, saya ini kan sudah hampir sunset.” Jawaban seperti ini cukup membuat orang yang pertama tidak mendukung Amien Rais untuk maju capres menjadi terperangah. Bagaimana tidak, seorang Amien Rais yang dulu terlihat begitu ambisius (mungkin karena tim suksesnya juga yang kurang smart melihat dan mengkaji budaya orang Indonesia yang tidak suka dengan orang-orang yang tampak terlalu ambisius), secara spontan terlihat begitu menolak secara halus. Tapi, dalam hati kecil saya, sikap inilah seharusnya yang lebih ditonjolkan dalam kampanye dulu-dulu ketika Pak Amien maju capres.

Kalau memang ada pemimpin yang komitmen untuk bersikap tegas pada IMF, World Bank dan kroni-kroninya, kenapa tidak? Buktinya sudah banyak, lihatlah Russia, Bolivia, Argentina, India, dan raksasa ekonomi Asia saat ini, China! Mereka bisa tegas terhadap korporatokrasi asing. Mereka cukup percaya diri untuk tidak menjadi inlander. Mereka cukup percaya diri untuk melakukan negosiasi ulang dengan kekuatan asing sang pengeruk kekayaan negeri sendiri. Persoalannya, sudah pede dan beranikah pemimpin kita saat ini? Kalau belum, berarti memang harus segera turun mesin! (Lagi-lagi meminjam istilah Pak Amien dalam dialog siang itu).

Dalam acara yang berlangsung hampir lima jam itu, sepertinya memang memacu semangat kebangsaan untuk menjaga aset-aset bangsa ini agar tidak lepas terus ke tangan asing. Misalnya, agar hasil Freeport juga dapat dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Agar kita dapat mengelola Sumber Daya Alam yang ada benar-benar dari ibu pertiwi, dikelola oleh rakyat, dan hasilnya juga untuk rakyat.

Setelah acara selesai, saya sempat menegur Pak Amien yang asyik dimintai tanda tangan untuk buku-buku yang sudah dibeli para peserta dialog. “Semoga jadi presiden Pak!” Sambil masuk mobil Pak Amien sigap menjawab, “ Amin… amin.”

Wednesday, June 04, 2008

Wanted: Public Enemy


Agaknya inilah yang terjadi akhir-akhir ini di negeri kita tercinta. Kadang kita tidak sadar, hampir setiap hari kita selalu mencari public enemy atau musuh bersama. Nampaknya mungkin benar, di negeri kepulauan ini ada pihak-pihak yang tidak suka dengan kedamaian. Mungkin hampir sama pemikirannya dengan negara-negara pembuat senjata. Mereka akan terus mengupayakan adanya perang di muka bumi ini. Kenapa bisa begini? Karena dengan adanya perang mereka dapat terus memproduksi senjata. Kalau tidak ada perang, industri-industri senjata milik mereka akan bangkrut, dollar juga tidak akan mengalir.

Kalau pihak luar tidak suka adanya kedamaian di Indonesia, memang masih masuk akal. Tapi, kalau elemen bangsa ini sendiri yang tidak suka bagaimana? Tentunya aneh bin ajaib. Apa kepentingan mereka hingga tega-teganya menginginkan negara ini bergolak? Apa mereka didanai asing yang ingin di negara ini terjadi perang saudara? Mungkin mereka tidak puas dengan kerusuhan Poso, atau damainya Aceh sekarang ini? Mereka mau antara umat Islam sendiri pecah! Ahmadiyah diadu dengan seluruh umat Islam, FPI diadu dengan Banser NU, Gus Dur diadu dengan Habib Rizieq, Islam konservatif diadu dengan Islam modern, NU diadu dengan Muhammadiyah, MUI diadu dengan JIL. Sungguh terbayang apa jadinya nanti jika semua elemen Islam di negara ini pecah. Apa kita mau jadi seperti Irak, dimana ketika Sunni dan Syiah tidak pernah akur, kemudian Amerika masuk dan hancurlah negara itu.

Seandainya dalam insiden monas itu saya punya helikopter sepuluh buah saja, saya akan tugaskan semua pilotnya untuk terbang rendah di atas monas dan berteriak lantang dengan pengeras suara yang super keras, “Hei kalian semua, sadarlah kalian itu sama-sama orang Islam! Sadar gak siiiiihhhh????!!!, Please deh, jangan bego-bego amat dooong… Ada yang seneng lho kalau kalian perang kayak gini terus... ”

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari insiden monas? FPI mau dibubarkan, Anda senang? Urusan BBM dan BLT terlupakan, pemerintah jadi sedikit lega karena perhatian publik jadi teralihkan ? Atau kita semua termasuk Anda jadi sadar, bahwa ada konspirasi yang sangat rapi dibalik semua ini? Untuk kemungkinan yang terakhir ini, Anda dapat membaca link ini, silakan klik http://www.jalansetapak08.wordpress.com

Coba pikir dengan hati, ini fakta, ini Indonesia, dan kejadian seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia!

Google